Sudah saatnya kita memposisikan sekolah bukan sebagai satu-satunya tempat belajar anak. Sekolah sangat terbatas. Banyak yang tidak didapat anak dari sekolah. Lingkungan di luar sekolah, yakni keluarga dan masyarakat adalah sumber belajar yang sangat kaya. Bukan hanya kaya akan sumber belajar, keluarga dan masyarakat adalah laboratorium kehidupan. Kelak anak tidak hidup di sekolah. Mereka hidup di keluarga dan masyarakat.

Lingkungan sekolah yang ideal menurut saya harus bisa menghadirkan suasana keluarga dan masyarakat dalam proses pembelajarannya. Suasana belajar dibangun agar ada kerjasama, saling membutuhkan.

Sekolah hendaknya selalu mengaitkan materi pembelajaran dengan pengalaman dan dunia anak. Memaknainya dan membukakan mata tentang manfaat pengetahuan yang dikuasai.

Keberhasilan belajar tidak hanya diukur dari sejauh mana anak dapat menguasai materi, tetapi juga bagaimana proses penguasaan itu terjadi. Dengan demikian, guru bukan lagi berperan sebagai sumber belajar, tetapi sebagai pembimbing dan fasilitator agar anak mau dan mampu belajar. Inilah makna proses pembelajaran yang berpusat pada anak. Anak tidak dianggap sebagai objek belajar yang dapat diatur dan dibatasi kemauan guru. Anak ditempatkan sebagai subjek belajar yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan yang dimilikinya.

Proses belajar bisa berlangsung dengan cara apa pun dan berkesinambungan. Belajar tidak harus dengan membaca buku dan mengerjakan latihan. Bisa dengan pergi ke pasar, sawah, atau terminal, tergantung sasaran yang ingin dicapai. Lebih jauh adalah mengajak anak untuk mengikat setiap pengetahuan baru yang ditemukannya, memikirkan hal-hal positif yang bisa dilakukan, serta belajar mengantisipasi efek yang mungkin terjadi dari suatu fenomena. Akhirnya, menurut saya, dalam belajar proses lebih penting daripada hasil.